RANGKAIAN SUNAH DALAM AQIQAH
A. Dalil-dalil Pelaksanaan AQIQAH
Dari Samurah bin
Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan
aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan
dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin
menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk
laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [HR Abu
Dawud, Nasa’i, Ahmad]
Keterangan
: Hasan dan Husain adalah cu
cu Rasulullah SAW. Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [HR Ahmad, Thabrani, dan al-Baihaqi]
cu Rasulullah SAW. Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [HR Ahmad, Thabrani, dan al-Baihaqi]
Dari
Abu Buraidah r.a.: Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas,
atau kedua puluh satunya. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Dasar
yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai
sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak
tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari
kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama
anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah sembelihan
dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR: Ahmad, Al
Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Pelaksanaan
aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal
ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat
dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR.
al-Tirmidzi).
Namun
demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia
bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21
atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya
pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari
ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah
cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan
sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Bayi
yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan
aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia
empat bulan di dalam kandungan ibunya.
Aqiqah
adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang
belum di sembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia
bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
Dan bila tidak diaqiqahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi dirinya sendiri
maka hal itu tidak apa-apa menurut saya, wallahu ‘Alam.
B.
Hukum Aqiqah Setelah
Dewasa/Berkeluarga
Pada
dasarnya aqiqah disyariatkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh dari
kelahiran. Jika tidak bisa, maka pada hari keempat belas. Dan jika tidak bisa
pula, maka pada hari kedua puluh satu. Selain itu, pelaksanaan aqiqah menjadi
beban ayah.
Namun
demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi, ia bisa melakukan
aqiqah sendiri di saat dewasa. Satu ketika al-Maimuni bertanya kepada Imam
Ahmad, “ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi
dirinya sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika
kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak
menganggapnya makruh”.
Para
pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang
sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk
melakukan aqiqah sendiri.
C. Jumlah
Hewan
Jumlah hewan aqiqah
minimal adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan,
sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ra: “Sesungguh-nya Nabi SAW mengaqiqahi Hasan
dan Husain satu domba satu domba.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al
Jarud)
Namun yang lebih utama
adalah 2 ekor untuk anak laki-laki dan 1 ekor untuk anak perempuan berdasarkan
hadits-hadits berikut ini:
Ummu Kurz Al Ka’biyyah
berkata, yang artinya: “Nabi SAW memerintahkan agar dsembelihkan aqiqah dari
anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadits
sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Dari Aisyah ra
berkata, yang artinya: “Nabi SAW memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah
dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu
ekor.” (Shahih riwayat At Tirmidzi)
Hal-hal yang
disyariatkan sehubungan dengan ‘aqiqah
D. Daging
Aqiqah Lebih Baik Mentah Atau Dimasak
Dianjurkan agar
dagingnya diberikan dalam kondisi sudah dimasak. Hadits Aisyah ra., “Sunnahnya
dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak
perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh
keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi)
aqiqah diberikan
kepada tetangga dan fakir miskin juga bisa diberikan kepada orang non-muslim.
Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menarik simpatinya dan dalam rangka
dakwah. Dalilnya adalah firman Allah, “Mereka memberi makan orang miskin, anak
yatim, dan tawanan, dengan perasaan senang”. (QS. Al-Insan : 8). Menurut Ibn
Qudâmah, tawanan pada saat itu adalah orang-orang kafir. Namun demikian,
keluarga juga boleh memakan sebagiannya.
E. Pemberian
Nama Anak
Tidak diragukan lagi
bahwa ada kaitan antara arti sebuah nama dengan yang diberi nama. Hal tersebut
ditunjukan dengan adanya sejumlah nash syari yang menyatakan hal tersebut.
Dari Abu Hurairoh Ra,
Nabi SAW bersabda: “Kemudian Aslam semoga Allah menyelamatkannya dan Ghifar
semoga Allah mengampuninya”. (HR. Bukhori 3323, 3324 dan Muslim 617)
Ibnu Al-Qoyyim
berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa
makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah
makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil
dari makna-maknanya”. Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama-nama
terhadap yang diberi nama (Al-musamma) maka perhatikanlah hadits di bawah ini:
Dari Said bin Musayyib
dari bapaknya dari kakeknya Ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW, beliau
pun bertanya: “Siapa namamu?” Aku jawab: “Hazin” Nabi berkata: “Namamu Sahl”
Hazn berkata: “Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku” Ibnu Al-Musayyib
berkata: “Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya”. (HR.
Bukhori) (At-Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al-’Isawiy hal 65)
Oleh karena itu,
pemberian nama yang baik untuk anak-anak menjadi salah satu kewajiban orang
tua. Di antara nama-nama yang baik yang layak diberikan adalah nama nabi
penghulu jaman yaitu Muhammad. Sebagaimana sabda beliau : Dari Jabir Ra dari
Nabi SAW beliau bersabda: “Namailah dengan namaku dan janganlah engkau
menggunakan kunyahku”. (HR. Bukhori 2014 dan Muslim 2133)
Untuk
mengetahui cara pemberian nama yang baik menurut ajaran Islam, silahkan klik:
F. Mencukur
Rambut
Mencukur rambut adalah
anjuran Nabi yang sangat baik untuk dilaksanakan ketika anak yang baru lahir
pada hari ketujuh.
Dalam hadits Samirah disebutkan bahwa
Rasulullah saw. Bersabda, “Setiap anak terikat dengan aqiqahnya. Pada hari
ketujuh disembelihkan hewan untuknya, diberi nama, dan dicukur”. (HR.
at-Tirmidzi).
Dalam kitab
al-Muwaththâ` Imam Malik meriwayatkan bahwa Fatimah menimbang berat rambut
Hasan dan Husein lalu beliau menyedekahkan perak seberat rambut tersebut.
Tidak ada ketentuan
apakah harus digundul atau tidak. Tetapi yang jelas pencukuran tersebut harus
dilakukan dengan rata; tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian
yang lain dibiarkan. Tentu saja semakin banyak rambut yang dicukur dan
ditimbang semakin -insya Allah- semakin besar pula sedekahnya.
Sumber Rujukan
* Subulussalam (4/189, 4/190,
4/194)
* Al Asilah Wal Ajwibah Al
Fiqhiyyah (3/33-35, 3/39-40)
* Mukhtashar Al Fiqhil
Islamiyy 600
* Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil
Maulud, Ibnu Al Qayyim 46-47
* Al Muntaqaa 5/195-196
* Mulakhkhash Al Fiqhil
Islamiy 1/318
* Fatawa Islamiyyah
2/324-327; Irwaul Ghalil (4/389, 4/405)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar